Selamat Datang

Silakan mampir dan melihat-melihat rumah kami. Tidak perlu membawa oleh-oleh cukup ucapkan salam dan akan kami sambut dengan segala kehangatan sebagai teman, sahabat, saudara dan keluarga.


Kami akan membantu apapun keperluan Anda yang berhubungan dengan dunia penulisan dan percetakan. Jangan ragu menjadikan kami sebagai mitra usaha.

Jingga Publishing House mitra Anda dalam membingkai cerita dengan kasih dan cinta.

Minggu, 03 April 2011

Mencari Pembantu Idaman

Membincang soal PRT (Pembantu Rumah Tangga) dengan kaum ibu disekitarku atau teman-teman dilingkungan kerjaku membuat Aku sedikit mengernyitkan kening. Betap tidak, nyaris mereka semua mengeluhkan ulah sang asisten rumah tangga yang lagi-lagi menurut para ibu alih-alih meringankan pekerjaan rumah malah kehadiran si Mbak bikin kepala cenat cenut. Dari mulai cara kerja yang tidak beres, mengasuh anak yang tidak becus, kerja sambil mainan hape, tukang pacaran, suka mencuri dan stigma-stigma negatif lain yang dilekatkan pada sang pembantu.

Apa sih sebenarnya tugas seorang pembantu rumah tangga? Dan bagaimana menyikapi mereka dalam komunitas bernama sebuah keluarga yang susah payah dibangun oleh sepasang suami istri. Dalam bukunya Doing the Dirty Work? The Global Politics of Domestic Labour, Bridget Anderson, sang penulis, memaknai pekerjaan rumah tangga (domestic labor) sebagai pekerjaan yang sangat vital dan sustaining. Menariknya masih menurut Anderson, pekerja rumah tangga baik yang melakukan cleaning (bersih-bersih), baby sitting (mengasuh) atau “servant” (melayani) pada fungsi caring-caring-nya, bukan pada labor power-nya yang memang tidak setara antara majikan dan pekerja. Menurutnya, yang mendorong para majikan mempekerjakan para PRT bukanlah labor power dalam relasi kerja keduanya, tapi lebih pada apa yang disebutnya sebagai personhood.

Apa bedanya labor power dan personhood ?. Pada Labor power terjadi penguasaan yang lebih dari seseorang atas seorang yang lain. Hubungan yang tercipta adalah suasana kerja baku dan kaku antara seorang majikan yang boleh memerintahkan segalanya dan seenak wudele dewe hingga seringkali terjadi kekerasan didalamnya baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan pada relasi personhood, seseorang mempekerjakan orang lain dalam lingkup kekuasaanya dengan memperhatikan, mempertimbangkan dan memandang sang pekerja dari sisi kemanusiaannya sebagai seorang (person) yang memiliki kepribadian unik, bisa diarahkan dan dibentuk sebaik mungkin yang tidak hanya untuk kepentingan majikan tapi juga untuk si pembantu.

Dalam pandangan Islam, pembantu atau disebut juga khadimat, adalah bagian dari anggota keluarga yang juga harus diperhatikan keimanan dan akhlaknya oleh sang majikan. Namun anggapan sebagai anggota keluarga menjadi bias pada prakteknya dikeseharian hari ini. Beberapa majikan mengenalkan asisten rumah tangganya tersebut kepada tetangga sebagai anggota keluarga baru, tapi apakah si Mbak dilibatkan jika mereka pergi liburan?, mendapat hak yang sama dengan anak-anak atau anggota keluarga kita yang lain?. Tentunya tidak, si Mbak tetap harus bekerja sementara keluarga majikannya pergi berlibur atau makan-makan di sebuah resto mewah. Sepertinya saya bakal dihujat oleh para majikan jika terkesan membela para pembantu, tapi tunggu dulu, saya belum selesai.

Mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga saat ini adalah merupakan sebuah kebutuhan bagi keluarga kelas menengah ke atas utamanya di perkotaan. Sementara pagi para perempuan desa dengan tingkat pendidikan rendah, yang paling memungkinkan mereka lakukan untuk mendapat penghasilan secara mandiri adalah menjadi pembantu rumah tangga yang tidak memerlukan prosedur lamaran kerja yang ribet bagi. Sebenarnya ada simbisosis mutualisme disini, mereka (perempuan dari desa) membutuhkan pekerjaan, sementara perempuan kelas menengah kota punya punya akses (besar) ke pekerjaan publik. Jadi muncul ketergantungan pada PRT di kalangan kelas menengah kota. Namun sayangnya, ada relasi power yang tidak seimbang. Ada hubungan yang tidak seimbang antara kelas menengah kota dengan perempun dari kampung. Ketidakseimbangannya (bisa) soal keterampilan, dan lain-lain –dan (kondisi ini) memiliki kecenderungan melahirkan ketidakadilan.

Sebagai seorang majikan Saya dan tentu juga Anda berharap para pembantu bisa melakukan tugasnya sebaik mungkin, rumah bersih, anak-anak terjaga dan terpenuhi kebutuhan makannya, cucian kotor jadi bersih dan tersimpan rapi di lemari, masakan tersedia ketika pulang ke rumah dalam keadaan lelah dan selalu siap setiap saat manakala Kita membutuhkan mereka dengan satu teriakan bernada sopran,”Mbaaaaaaaaak…”.

Satu hal yang seringkali kita lupa, darimana mereka berasal? Seberapa level pendidikan mereka?. Harapan majikan yang bersenjang dengan kenyataan bahwa ternyata pembantu mereka ndableg, malas, tidak trampil dan tidak becus sejatinya karena Kita tidak menempatkan cara kita berfikir dari jendela pikiran mereka. Tentu saja mereka tidak becus memasak dengan baik, karena mereka cuma biasa memasak ala desa dengan piranti masak seadanya dan dengan menu masakan yang juga ndeso. Pastinya mereka tidak bisa mengasuh anak dengan baik, lah wong rata-rata mereka cuma lulusan SD dan belum pernah punya anak karena rata-rata usia para pembantu amsih belasan tahun. Bagaimana mereka mampu mengurus rumah menjadi rapi sesuai selera majikan kalau sebelumnya cuma terbiasa mengurus rumah di desa yang seadanya, dengan tata ruang yang sederhana dan tidak banyak pernak perniknya. Mereka sibuk mainan hape dan pacaran, itu karena mereka gegar teknologi dan suka mencari perhatian lawan jenis bisa jadi karena berharap segera nikah disebabkan tuntutan masyarakat desanya yang menganggap perempuan lebih dari usia 14 tahun masih lajang, sebagai perawan tua.

Sebagai majikan, kehadiran para Mbak dirumah tangga kita adalah mutlak tanggung jawab kita. Mereka datang dengan segala kekurangan mereka, maka Kitalah yang harus melengkapi mereka dengan mengajarkan banyak hal. Kita lah yang harus lebih sabar menghadapi mereka dengan tingkat pendidikan dan keimanan yang insya Allah lebih baik dari mereka. Dan kita juga yang harus mengarahkan mereka untuk bertanggung jawab atas segala tugas yang dibebankan kepundak mereka dengan sekali lagi mempertimbangkan tingkat kecerdasan, kematangan emosi dan berfikir juga kemampuan sosialisasi para Mbak. Terlebih dari itu, sebagai seorang muslim, segala apa yang ada dalam kepemimpinan Kita kelak akan dipertanggung jawabkan, termasuk kepemimpinan terhadap khadimat di rumah.

Jika segala cara telah diikhtiarkan untuk membentuk sang pembantu menjadi pembantu ideal nan idaman namun gagal, maka bersabarlah. Seseorang tidak mudah dibentuk dalam satu hari, satu bulan bahkan satu tahun. Mungkin dengan mudah Kita bisa cari lagi pembantu baru, namun akan lagi dan lagi diperlukan proses pembelajaran yang sama dan pastinya butuh nafas yang lebih panjang. Setiap orang punya kekurangan, selagi perbuatan si Mbak bisa ditolerir, tidak melanggar aqidah, tidak mencuri dan tidak melakukan kekerasan maka sebaiknya kita berlapang dada menerima kekurangannya dengan memperhatikan kelebihan yang mereka punya dan terus mengajak mereka berproses menjadi lebih baik.

Tidak sedikit dari proses pembelajaran yang diberikan para majikan membuahkan pembantu-pembantu cerdas yang bisa diandalkan. Namun juga tidak sedikit pembantu-pembantu bebal yang tidak mempan diajari dengan cara apapun. Semua berpulang kembali pada kesiapan kita saat memutuskan sebuah keputusan membawa orang asing sebagai bagian dari keluarga kita, sebagai asisten rumah tangga kita dan sebagai murid yang harus selalu dididik dan dibimbing sepanjang kebersamaannya bersama kita.

*Dengan rasa kasih dan trima kasih pada Mbak Fadhilah, Khadimat setia dalam suka dan dukaku. Subuh, 4 April 2011. @Titie Surya.

2 komentar:

  1. kapan lagi artikel terbarunya keluar??,
    di tunggu yah ..
    klo ada waktu jalan" ke blogku yahh ..

    BalasHapus
  2. Hai, makasih ya dah sering2 mampir, pasti kusempatkan maen ke blogmu.
    ditunggu aja ya...

    BalasHapus